Senin, 09 Oktober 2017

Cerpen "Hujan di Bulan November"

Hujan di Bulan November
Karya : Noviarni Isnaeni R.

Cerpen "Hujan di Bulan November"

Hujan di bulan November terasa penuh duka kenangan kenangan terdahulu, tetapi di setiap kedukaan itu selalu tersimpan kebahagiaan yang tertunda dan berkah yang terselip. Seperti biasanya, setiap pagi rutinitas yang hampir tak pernah ada hentinya untuk seorang pelajar. Aku mulai melangkahkan kaki ke jalanan yang penuh dengan tetes tetes air yang terjatuh dari atas langit, dan merasakan kesejukan udara pagi hari, sembari menyetuh dedaunan yang terbasahi air hujan yang nampak berbeda dari bulan yang lalu, walaupun dedaunan tak terbasahi embun dipagi harinya. Saat aku tengah menanti bus di halte terdengar suara orang yang tak asing memanggil namaku.
“Lisa..lisa”.

Dia adalah teman satu atap SMAku Yori yang sudah ku kenal sejak 3 tahun yang lalu, saat pertama kali aku mulai duduk dibangku SMP.
Aku dan Yori sebenarnya sudah berteman cukup lama. Bahkan lebih dari teman, bisa dibilang kita bersahabat cukup dekat dan aku sudah menganggapnya seperti kakakku sendiri. Aku sangat bahagia bisa memiliki sahabat seperti dia. Saat pertama kali pertemuan kita yaitu, sewaktu mos smp dia adalah orang yang selalu membantuku. Saat aku lupa membawa 2 buku tulis sebagai persyaratan mos, Yori memberikan satu buku tulis dari 2 buku yang dia miliki. Dan sejak saat itu aku dan Yori mulai berteman cukup dekat, terlebih lagi jarak rumahku dan Yori yang hanya satu komplek rumah.
“Lisa tungguin dong”.  Dengan wajah berseri dia mulai mendekatiku.
Aku hanya terdiam sambil memandangnya dari kejauhan dan menghentikan langkah sembari menunggu kedatanganya.

“Kamu kenapa Lis? Muka kamu keliatan pucat? Kamu sakit ya?”. Yori mulai terlihat kawatir sambil menyentuh keningku.

Sekali lagi aku hanya terdiam dalam hatiku dan mulai berfikir kenapa sejak pertama aku bertemu dengan Yori dia selalu terlihat seperti orang yang sangat baik. Kenapa dia begitu baik? Aku tak habis fikir. Kebaikanya seperti ada sesuatu yang terselip didalamnya, dan disetiap senyuman yang kulihat selalu tersimpan makna yang tulus. Kenapa dia sangat perhatian? Bagiku dia adalah kakak yang selalu melindungiku.

 “Ah udah yor aku ngak papa kok, ayo kita berangkat nanti keburu telat”.

Aku pun mulai angkat bicara sembari berlari dan menutup kepalaku dengan kedua tanganku untuk menghindari percikan air hujan yang menetes dari ujung langit biru mendung itu, lalu bergegas menuju bus yang berhenti didepanku.

Kita pun mulai beranjak dari halte dan mulai memasuki bus. Aku duduk bersebelahan dengan Yori seperti biasanya. Biasanya kami didalam bus membicarakan banyak hal dan dia selalu membuat candaan yang lucu. Lalu kami tertawa sejadi jadinya hingga kami menganggu kenyamanan orang orang didalam bus, sampai sampai pernah kami diturunkan dijalanan. Dan pada saat itupun kami tak pernah berhenti, kami terus saja berjalan penuh tawa hingga kami sampai dirumah. Namun itu dulu sewaktu kami masih duduk dibangku smp, sewaktu kita belum pernah merasakan pahit dan manisnya kisah cinta masa SMA. Itu hanyalah masa yang lalu saat kita masih dalam pikiran logika kekanakan yang ada, dan kini kami telah menduduki bangku SMA tentunya kami berdua semakin dewasa. Sekarang kami tak banyak lagi berbicara seperti dulu.

Pikiranku itu mulai terhenti sejenak saat bus berhenti didepan sekolah kami, dan kami mulai turun dari bus tanpa berkata sepatah katapun. Kami bergegas menuju kelas kami masing masing. Kelas kami tidak bersebelahan lagi seperti dulu sewaktu smp. Kelas Yori ada dilantai bawah dan kelasku berada dilantai atas tepat diatas kelas Yori. Beberapa bulan yang lalu Yori selalu memberiku semangat saat sebelum aku akan menaiki tangga dan berjalan menuju kelasku. Namun aku rasa kini dia mulai berubah, entah kenapa.

“Ah sudahlan mungkin ini hanya perasaanku saja”. Dalam hati aku mulai bergumam dan berusaha menghilangkan semua pikiranku tentang Yori.

Aku mulai berjalan menuju kelasku. Dari kejauhan aku melihat wajah seseorang yang kukenal. Dia tersenyum kepadaku sambil membawa setangkai bunga mawar merah dan boneka berbentuk kucing berwarna pink. Dia adalah Adit pacarku. Kira kira sudah sekitar beberapa minggu aku mulai berpacaran dengan Adit. Ah bukan, atau mungkin beberapa bulan, aku benar benar tak ingat mengenai itu.

“Selamat Ulang tahun yang ke-17 Lis”. Ucap Adit penuh dengan senyum sembari memberikan boneka dan bunga mawar itu kepadaku.
“Makasih Adit”.
“Iya sama sama Lis, aku ngak telat kan ngucapinya?”
“Emm, enggak kok dit. Sekali lagi makasih ya dan maaf udah ngerepoti kamu kaya gini”
“Enggak kok Lis aku malah senang bisa ngeliat kamu senyum kaya gini”.
Tiba tiba bel masuk pun menghentikan obrolan kita berdua. Aku dan Adit beranjak pergi dari tempat itu dan mulai menuju kekelas kita masing masing untuk segera memulai pelajaran di pagi ini.

***

Setelah beberapa jam berlalu akhirnya pelajaran hari ini pun usai dan aku bergegas menuju jalan pulang. Sebelum pulang aku menunggu Yori seperti biasanya untuk pulang bersama. Namun saat aku sedang menunggu Yori, tiba tiba Adit memanggilku dan mengajaku untuk pulang bersama menaiki motornya. Aku sebenarnya ingin menolak ajakan Adit karena selama ini aku belum pernah pulang bersama cowok lain selain Yori. Dan aku merasa canggung apabila harus naik motor dengan cowok lain, lagi pula aku baru mengenal Adit beberapa bulan yang lalu ketika aku dikenalkan oleh Sisil teman sekelasku hingga akhirnya aku dan Adit pacaran sampai saat ini. Tapi aku merasa ngak enak jika harus menolak ajakan Adit. Dengan separuh hati aku pun menerima ajakan Adit untuk pulang bersama. Dan dengan berat hati aku mengirim sms ke Yori agar dia pulang terlebih dahulu karena hari ini aku pulang dengan Adit.

Sesampainya dirumah dengan rasa lelah aku mengambil hpku yang ada didalam tas, dan melihat kelayar hp yang ternyata ada pesan dari Yori yang berbunyi. “Lisa, sehabis pulang sekolah aku tunggu kamu di lapangan tempat biasa”. Setelah membaca sms itu aku langsung bergegas menuju lapangan untuk menemui Yori tanpa menganti pakaian dan mebiarkan seragam sekolah putih abu abu ini terus membalut tubuh ini. Dengan rasa lelah ini aku mengayuh sepedaku agar aku bisa cepat sampai disana dan bertemu dengan Yori. Kali ini entah mengapa aku sangat antusias dan bersemangat, mungkin karena sudah hampir setahun aku tak pernah ke tempat itu lagi bersama dengan Yori.

Setelah beberapa menit aku mengayuh sepedaku akhirnya aku sampai ditempat itu, namun sejauh mataku memandang dan meneropong jauh aku tak melihat tanda tanda keberadaan Yori. Namun aku putuskan untuk menunggu Yori hingga dia benar benar muncul dihadapanku. Dalam hatiku aku kembali bertanya, kenapa Yori berubah tidak seperti biasanya? Biasanya dia tak pernah telat sedetikpun bila kita akan bertemu seperti saat ini. Hampir satu jam aku menunggu Yori, dan aku hampir saja putus asa menunggu kedatangan Yori. Namun tiba tiba Yori datang , dia muncul tepat dibelakangku.

“Yori kamu lama banget si, dari mana aja kamu?”. Tanyaku dengan nada kesal.
Namun Yori terdiam tanpa sepatah katapun. Dan aku kembali bertanya.
“Aku heran sama kamu yor, biasanya kamu ngak pernah telat. Kamu benar benar agak berubah akhir akhir ini. Kamu kenapa si yor?”.
“Aku udah sejam yang lalu nunggu kamu disini Lis. Dan dari tadi aku ngeliatin kamu dari atas bukit itu”. Jawab Yori sembari menunjuk ke atas bukit dekat lapangan.
“Terus kenapa kamu ngak turun? Kamu tega biarin aku kaya orang hilang sendirian?”
“Awalnya aku kira kamu ngak akan datang. Aku kira kamu sibuk sama pacar baru kamu si Adit itu, dan aku hampir aja mau pulang kerumah. Tapi dari kejauhan aku ngeliat kamu datang naik sepeda. Akhirnya aku naik ke bukit itu, supaya bisa ngeliat kamu sampai berapa jam tahan nungguin aku, kayak dulu aku selalu nungguin kamu berjam jam saat kamu telat datang dan menyambut kamu dengan penuh senyum”.

Mendengar perkataan dari Yori aku terdiam sesaat, aku bingung akan menjawab apa. Baru kali ini aku mendengar perkataan seserius itu dari Yori. Apakah Yori benar benar berubah? Apakah Yori yang didepanku ini bukan Yori yang dulu, yang aku kenal.

“Aku keseini cuma mau ngucapin selamat ulang tahun untuk kamu yang ke-17. Seharusnya aku ngucapinya dari tadi pagi, tapi aku liat kamu bener-bener ngak mood. Jadi aku simpan ucapan ini sampai kita pulang sekolah. Dan maaf aku ngak bisa kasih kamu hadiah. Awalnya aku mau ajak kamu ke toko ice cream tempat kita dulu nongkrong bareng dan traktir sepuas yang kamu mau. Tapi aku pikir ini juga tempat kenagan kita dulu. Waktu pertama kali aku ajarin kamu baseball sampai tangan kamu lecet semua dan kamu kecapean, hingga aku harus gendong kamu pulang sampai rumah, terus akhirnya aku dimarahi mama kamu. Aku benar benar minta maaf Lis”. Kata Yori sambil tersenyum manis.

Kenapa dadaku sesak saat mendengar perkataan Yori. Aku kira Yori telah berubah, dia memang bertambah dewasa. Namun senyum yang terpancar dari bibirnya itu masih benar benar sama seperti dulu, saat pertama aku mengenalnya. Dan dia juga masih mengenang masa kecilku dulu bersama dia. Dia membuatku bingung dengan tingkahnya yang seakan berubah ubah bagaikan musim yang terus berlalu.

“Yori, apa kamu masih Yori yang dulu?”
“Kamu ngomong apa si Lis? Aku Yori dan aku tetap Yori yang kamu kenal”
“Tapi aku kira banyak yang berubah dari kamu Yor”
“Lalu apa Lisa masih Lisa yang aku kenal dulu? Yang selalu ceria?”

Dalam benakku, aku kembali berfikir mendengar pertanyaan Yori. Apakah aku Lisa? Apakah aku Lisa yang selama ini Yori kenal?. Aku bertanya pada diriku sendiri. Aku sadar bahwa bukan Yori yang berubah namun aku sendiri. Aku bukan Lisa yang dulu. Akhir akhir ini hampi aku tak pernah seceria dulu, dan semenjak aku berpacaran dengan Adit aku banyak berubah.
Tanpa kusadari aku merasa pipiku terasa dingin. Air mataku perlahan menetes dan mulai membasahi pipiku ini.

“Yori…”. Bibirku lirih memanggilnya sembari menahan sesak didada, dan merasakan tetesan air mataku.
“Yori, maafin aku. Aku udah ngeohongin diriku sendiri dengan cara pacaran sama Adit. Dan perlahan aku mulai berubah”.
Tiba tiba Yori memelukku dan berbisik ditelingaku.
“Lisa.. tenanglah bagiku kamu ngak akan pernah berubah. Kamu tetap sama seperti Lisa yang aku kenal. Memang waktu selalu merubah kita dan mendewasakan kita. Namun ingat aku tetap akan menjadi Yori sahabat kamu yang pertama kali kamu kenal Lis. Percayalah”.

Aku… aku tak percaya. Yori masih tetap Yori yang dulu. Yori yang aku kenal. Senyumnya masih sama seperti dulu. Caranya membuat lelucon yang mengangguku masih tetap sama seperti dulu. Walaupun hujan dibulan November pun, itu tak akan pernah merubah Yori. Yori tetap Yori.
Readmore → Cerpen "Hujan di Bulan November"

Cerpen "Waktu"

Waktu
Karya : Noviarni Isnaeni R.

Cerpen "Waktu"

              Hari hari yang membosankan kembali terulang. Duduk dibangku ku sembari memperhatikan seseorang yang membuat coretan coretan di muka papan tulis berwarna putih itu. Kali ini pikiranku terpaku pada papan tulis itu, entah apa yang aku lihat dari sana. Hanya coretan coretan yang membuat kepalaku pusing melihatnya. Tulisan berwujud angka angka yang tak kumengerti sama sekali. Untuk apa angka angka itu berderet tertulis disana. Untuk apa orang itu mencoret coret papan tulis yang putih bersih itu, sehingga terlihat amat kotor bagiku. Pikiran itu bergelayut didalam kebosananku. Ingin rasanya aku mengakhiri kebosananku ini. Mengakhiri waktu ini. Jika saja aku diberi satu permintaan, tentunya aku akan memohon agar dapat pergi kemasa depan. Ingin aku pergi kesuatu tempat yang tak ada satu orang sekalipun yang amat menganggu hidupku. Bahkan aku tak ingin ada waktu, ingin aku menghentikan waktu. Atau mungkin lebih baik waktu itu tak pernah ada, tak ada hari, tak ada menit, detik, maupun lainya yang berhubungan dengan waktu. Aku benar benar membenci waktu. Waktu yang membuatku seperti ini. Waktu yang membuat hidupku begini. Waktu yang membuat kedua orang tuaku pergi meninggalkanku, saat mobil dengan kecepatan laju yang tak terhentikan waktu menghilangkan nyawa mereka beberapa tahun lalu. Betapa kejamnya sang waktu. Ingin aku menghancurkanya seperti dia menghancurkan hidupku.

              “Kring..kring..”. Tak terasa bel pertanda pulang sekolah telah berbunyi dan dengan diiringi sorak kebahagiaan orang orang didalam kelas. Suara sorakan dan bunyi bel itu membuat pikiranku yang tengah bergelayut mulai memudar dan lenyap sesaat. Ketika semua orang mulai beranjak pergi meninggalkan bangku mereka dan keluar melewati pintu yang ada dipojok kelas itu, aku hanya terduduk diam disini, dibangku yang tengah aku duduki. Tanpa rasa bahagia seperti mereka aku hanya menghela nafas panjangku yang sedari tadi tertahan tak bisa kulepas bersama anganku.

***
Readmore → Cerpen "Waktu"

Rabu, 28 Januari 2015

LDR Untuk Bahagia

Oleh : Sherly Milenia Islamiati

Tujuh tahun lalu disaat aku dan maulana berkenalan lewat handphone secara tidak sengaja, saat itu aku duduk di kelas 3 smp dan dia di kelas 2 madrasah aliyah di ponpes tambak beras jombang. Dia memberanikan diri untuk menjadikanku kekasihnya. Aku pun menyetujui permintaanya. Dia adalah anak dari keluarga yang paling dihormati di desaku. Keluarga seorang ulama besar. Entah mengapa ia tertarik padaku. Usianya saat itu 17 tahun sedangkan aku masih 14 tahun, kakaknya adalah guru ngajiku sedangkan ibunya adalah guru agamaku sewaktu aku di sekolah dasar. Keluarganya dikenal sebagai keluarga yang sangat memegang teguh agama.

Tujuh tahun kami berpacaran jarak jauh. Hanya bertemu 3 – 4 kali dalam setahun. Itu pun tak lama, karena kami menghindari hal hal yang membuat fitnah. Di ponpes itu ia belajar 6 tahun. Saat berpacaran denganku, dia baru mondok 1,5 tahun. Setelah itu dia melanjutkan kuliahnya di salah satu universitas. Sedangkan aku kini berkuliah di UGM dalam jurusan bahasa indonesia. Sesuatu yang aku cita citakan selama ini. Sebentar lagi aku akan diwisuda sedangkan mas maulana masih di semester 6. Maklum dia terkendala di pondok. Namun begitu dia telah menjadi seorang pengusaha obat herbal di jombang.

Hubunganku dengannya selama itu bukannya tak mengalami banyak cobaan. Hanya bertukar kabar seminggu sekali dan bertemu setahun 3 – 4 kali membuat banyak godaan datang menghampiri kami.
Namun dari masing masing keluarga kami tak ada kendala apapun. Alhamdulillah. Keluargaku (ibu dan kakakku) Mengetahui aku berpacaran dengannya sejak 7 tahun yang lalu. Sedangkan keluarganya baru mengetahui sejak 2 tahun lalu. 5 tahun kami menutupi hubungan ini dari keluarganya. Karena dia tak boleh berpacaran. Bahkan hampir saja ia dijodohkan oleh orangtua dan kakaknya. Sebelum akhirnya dia mengatakan kalau sudah punya calon istri, yaitu aku.

Seminggu yang lalu ia beserta keluargannya datang untuk mengkhitbahku. Dan 3 hari lagi aku akan resmi menjadi istrinya. Aku tak pernah menyangka. Long distance relationship yang kami jalani akhirnya berakhir indah.

Tepat hari ini, aku resmi dipersuntingnya. Dijadikan kekasih halalnya, dijadikan makmumnya, dijadikan bidadari hidupnya. Kebahagiaan itu amat sangat terpancar dari raut wajah kami berdua. Terima kasih ya allah. Telah kau jadikan kami pasangan yang amat beruntung di dunia ini.

Laillahailallah..
Readmore → LDR Untuk Bahagia

Angel on the Flower

Oleh : Bianca Rachela N

Namaku Karyn. Aku bisu. Aku buta. Hidupku memang tidak sesempurna kalian, karena aku bisu dan buta. Bila waktu bisa kuulang kembali, tentu aku akan menjauh dari kecelakaan itu.

5 tahun yang lalu.
Mama menggoyang-goyangkan tubuhku dengan lembut.
“Bagun, Karyn, udah pagi. Kita kan mau pergi ke Gereja.”
“Ah.. Karyn malas, Ma!!” Seruku.
“Gak boleh malas, Karyn. Di Gereja ada Pohon Natal yang besaaar sekali. Kamu pasti suka deh.” Ajak mama.
“Uh.. Mama aja sendiri!!!” Bentakku. Aku memang tidak suka kalau diganggu saat tidur.
“Karyn!” Bentak Mama tidak kalah kerasnya denganku, “Ya sudah kalau kau tak mau!”
“Memang aku gak mau.” Gumamku dan langsung melanjutkan tidurku.

Hari ini hari aku terakhir berbicara dan melihat.

Jam 12 aku bangun, karena telepon dari temanku.
“Karyn! Halooo!” Seru temanku, Vara.
“Halo jugaa!” Kataku bersemangat.
“Aduh, bosen nih di rumah?” Kata Vara.
“Aduh, kenapa kita gak ke mall aja?” Ajakku.
“Memang mamamu bolehin? Kalau mamaku sih boleh-boleh aja.” Tanya Vara.
Aku terdiam. Mamaku di gereja, pulangnya sekitar 2 jam lagi. Kalau pergi 1 jam aja, boleh kan?
“Bo.. Boleh do.. Donk.” Gugupku.
“Kok latah? Okay! Berangkat kemana? Jam berapa? Sampai kapan?” Tanya Vara bertubi-tubi.
“Ke Park of Castle aja, sekarang, 1 jam aja.” Jawabku
“Ok.”

Aku menghidupkan mobilku (sebetulnya sih mobil mama) Perlahan-lahan aku menjalankan mobil mama.
Tiba-tiba telponku berbunyi. Kudiamkan saja, soalnya aku masih mengemudi. Ternyata aku sampai ke Park of Castle selama 30 menit! Lalu kujawab telpon yang dari Vara.

“Halo, Va. Kamu dimana?” Tanyaku.
“Aku.. Gak jadi pergi, Kar! Bye!” Jawabnya langsung mematikan telpon. Waduh, aku sudah 20 menitan disini, mama 10 menit lagi pulang, aku harus pulang sebelum 10 menit!

Seperti dikejar hantu,
Karyn berlari-lari ke parkiran mobilnya.
Marah bercampur gelisah.
Karena gelisah, apalagi marah, dia ngebut. Lampu merah tetap menyala, namun Ia terobos.

Dia tidak melihat bahwa truk sedang mengklaksonnya, dan…

BRRUKKK!!!

“AAAAAAAHHHH!!!” Seru Karyn.

Dia tak berani mengingat kejadian 5 tahun yang lalu. Tak terasa air matanya menetes. Dia tertidur di tempat tidur yang sama. Dunia gelap di matanya, dia tidak bisa melihat. Namun Ia berusaha membuka matanya, makin berat matanya untuk dibuka. Ia bermimpi bahwa Ia sedang di padang bunga, lalu tiba-tiba seorang malaikat menghampirinya. Dia menangis lagi. Ia bisa melihat makluk suci.

“Ikutlah denganku.” Kata malaikat itu dengan penuh wibawa.
Karyn menganguk-nganguk sesegukan.

Lama-kelamaan mukanya menjadi biru, jemarinya sudah mati. Detak jantung sudah melemah.

Ia telah meninggal.

Namun senyumnya tetap tersungging di bibirnya, dan air mata penyesalannya masih ada

The End
Readmore → Angel on the Flower

Kesetiaan Bekaskan Luka

Oleh : Dian Putri Penasih

Anastasya Adila Putri, gadis manis dan santun itu tengah berada antara hati 2 laki-laki, Dista Anggara dan Aldi Tifano.
Walaupun dulu, cinta Dila hanya untuk Dista, tapi kali ini tidak. Aldi hadir di kehidupan Dila secara tiba-tiba. Mungkin sangat sulit bagi Dila menerima ini semua. Tapi bagi Dila ini adalah sebuah anugerah, yang membuat hati Dila tidak selalu sedih seperti dulu.
Dan hari itu Aldi mengatakan perasaannya pada Dila.
“Dila sebenarnya aku menyukai mu, dan maukah kamu jadi pacarku?”
Pada saat yang sama Dila mendengar kabar, bahwa Dista jadian sama adik kelasnya, Adin. Bingung, bimbang, marah, kesal campur aduk jadi satu. Dengan berberat hati ia menerima Aldi.

Hari demi hari Dila menjalani semua dengan gelisah. Bagi Dila, perasaannya ke Aldi adalah dusta. Ia sudah tidak sanggup lagi berbohong pada Aldi. Akhirnya ia memutuskan hubungannya dengan Aldi lewat sms.
“Aldi, maafkan aku jika harus mengatakan ini padamu. Sebenarnya aku masih suka sama Dista. Awalnya aku mengira bersama denganmu bisa melupakan Dista. Tapi ternyata tidak. Maafkan aku Aldi.”
Mungkin hari itu Aldi sangat kecewa, tapi sudah tidak ada pilihan lagi bagi Dila. Ia takut mendustai Aldi.
Waktu itu, Dila tadarus bersama teman-temannya. Di perjalanan Dila mendapat pesan dari Dista.
“gimana hubunganmu sama Aldi, lancar aja kan?” tanya Dista. “Aku udah putus sama dia. gimana juga hubunganmu sama Adin, apakah masih jalan?” Tanya Dila balik. “Hubunganku sama Adin udah hancur Dil, dia tega mengkhianati aku.” Jawab Dista. “Mengkhianati bagaimana?” tanya Dila heran. “Dia selingkuh dengan laki-laki lain Dil.” Jawabnya. “Yang sabar aja ya, tak usah dipikirin lebih. Pasti ini semua ada hikmahnya kok.”
Setelah beberapa saat mereka berangkat tadarus. Ia bingung dengan ini semua. Dia tidak pernah yakin pada perasaannya sendiri. Canggung, hanya itu yang ia pikirkan tentang perkataan Dista. Tidak percaya, apakah itu benar-benar terjadi pada hubungan Dista dengan Adin. Tapi itulah kenyataannya.

Hari semakin dekat dengan UN. Dan waktu itu Dista memaksa Dila untuk berkata jujur tentang perasaannya. Dan Dila pun mengatakan, “Iya, memang benar Dista hati ini ku simpan untukmu. Dan tidak ada cowok lain di hati ini”. Dan Dista hanya bilang beberapa kata saja, “Tapi maaf cintaku bukan untukmu”.
Semua yang Dila korbankan hanya mendapat balasan yang menyakitkan dari Dista. Hanya kata-kata pahit yang terurai dari Dista. Padahal Dista selalu memberi harapan lebih untuk Dila. Tapi apa daya, Dila harus bersabar lagi. Ia yakin bahwa ini belum seberapa. Masih benyak yang akan ia terima di masa mendatang nanti.

Hari itu, tiba waktu perpisahan sekolah dilaksanakan. Suasana mengharukan pun meliputi acara tersebut, semua siswa-siswi itu pun telah diwisuda. Seusai acara, Dista bersama temannya mengemasi perangkat yang digunakan pada acara tadi. Dista naik di atas mobil yang mengangkut peralatan itu. Ketika mobil tersebut melewati Dila yang berdiri di pinggir jalan, ia menatap mata Dista yang merah setelah menangis. Bersegeralah ia mengalihkan pandangan dari Dista.

Sepulang dari gedung, mereka kembali ke sekolah, melanjutkan foto bersama. Hanya canda yang keluar dari mulut Dila, walaupun ia ingin menangis. Canda dan tawa bersama untuk terakhir kalinya mereka rasakan. Dila berharap ia bisa bertemu kembali dengan Dista di kesempatan lain. Yang mungkin bisa lebih indah atau sebaliknya. 4 tahun lamanya Dista harus tinggal di pondok pesantren. Tidak memungkinkan bagi Dila untuk berhubungan dekat lagi dengan Dista.

Dan sudah waktunya Dista berada di pondok pesantren. Bagi Dila ini hal paling berat yang harus ia terima. Berpisah dari seseorang yang ia suka. Tetapi apa daya, ia tidak bisa melakukan apa-apa. Karena ini memang sudah menjadi takdir masing-masing.

Hari, berjalan begitu cepat. Hingga bulan pun berganti begitu cepat pula. Ia menjalani hidup tanpa kehadiran Dista. Hampa, seperti teh tanpa gula, dan pahit yang ia rasa. Berbulan-bulan, ia seperti tidak hidup. Hanya melamun yang ia kerjakan. Hidupnya terpuruk tanpa kehadiran Dista. Tapi ia berpikir, dia tidak boleh seperti ini terus-menerus, Dia harus bangkit.
Dan dia bisa menjalani hidupnya kembali. Aldi yang selama ini membujuknya supaya bangkit. Tetapi posisi Aldi sekarang sudah berbeda. Bukan lagi menjadi orang yang mencintai Dila, Melainkan sekedar sahabat.

Hingga bulan Desember pun datang. Tepatnya pada tanggal 06 Desember 2011, Dista menghubunginya lewat SMS. Ternyata Dista sakit hari itu. Mendengar kabar itu, Dila semakin gak tenang. Beban fikiran yang membuat jiwanya sakit. Dila khawatir dengan keadaan Dista, padahal dirinya sendiri pun juga sedang sakit.

Libur semester pun juga datang menyusul. Liburan kali ini sangat pedih, karena Dila harus menerima kata-kata kasar Dista kembali, “Mulai sekarang, persahabatan kita putus. Sekarang kita “MUSUH” okey!!”.

Berbulan-bulan mereka sudah tidak pernah berhubungan kembali karena bermusuhan. Tapi Dila tak mau bermusuhan. Dan ia menitip surat untuk Dista yang berisi.

“Dista, aku minta maaf kalau waktu itu aku menerima tawaranmu untuk memutuskan hubungan persahabatan kita. Aku tak bermaksud seperti apa yang telah terjadi. Waktu itu aku baru banyak pikiran. Hingga aku tak menyadari apa yang telah aku perbuat. Aku mohon jangan akhiri hubungan persahabatan kita”

Dista sms Dila setelah beberapa hari surat itu diberikan. Tetapi Dista tidak mengaku siapa dirinya. Lalu Dila sms di nomor Dista yang dulu, “Aku kira itu kamu, tapi ternyata tidak”. Sms itu pun terkirim. Padahal Dila mengirim itu hanya iseng-iseng saja. Dan nomor baru yang mengaku sebagai Awan (teman lama Dila) itu pun mengirim balik sms Dila yang dikirim ke nomor lama Dista. Seraya Dila kaget dengan itu, dan langsung bertanya.
“Kamu bisa tau kata-kata itu dari mana? Padahal kan aku kirimnya bukan ke kamu. Jangan-jangan kamu bukan Awan ya?” Tanya Dila.
“Kalau iya memang kenapa?” Jawab Dista.
“Berarti kamu Dista?” tanyanya kembali.
“Iya, terus maksud kamu SMS aku kayak begitu apa?” Tanya Dista cuek.
“Ya gak apa-apa, Cuma iseng aja. Aku kira kan nomormu yang itu sudah tidak aktif lagi” jawab Dila.
“Nomor aku itu selalu aktif.” Ujar Dista.
“Ya udah deh gak usah dibahas lagi, Tentang permintaanku yang waktu itu gimana?” Tanya Dila kembali.
“Gimana ya, kalau kamu mau jadi sahabat ku lagi tapi ada syaratnya.” Tawarnya.
“Syaratnya apa?” Tanya Dila.
“Siapa orang yang kamu suka sekarang?” tanya Dista.
“aku beritahu tapi jangan bilang siapa-siapa ya!” pinta Dila.
“Iya, aku gak bilang siapa-siapa.” Jawab Dista.
“Aku suka sama orang yang bernama Galang, dia temen satu sekolah ku yang sekarang.” Jawab Dila dengan keraguan, padahal Galang itu hanya teman Dila.
Dan mereka mengakhiri percakapannya sampai di situ, pada hari ini. Beberapa hari ini Dila sering berhubungan dengan Dista, walaupun sekedar lewat SMS.

Satu bulan kemudian Dista kembali menghubungi Dila, tapi hal yang sama terulang lagi. Mereka hanya bertengkar dengan permasalahan yang sepele. Dan mereka pun bertengkar lagi.

Berhari-hari mereka tidak smsan lagi. Sampai pada tanggal 21 Agustus 2012, Dista sms untuk minta nomornya Zakia. Dila mengatakan pada Dista hal yang begitu menyakitkan.
“Dis, aku boleh minta sesuatu gak?” tanya Dila.
“Apa?” jawab Dista.
“Please … jangan buat hatiku luka lagi, aku tau kamu punya pacar, tapi aku mohon jangan buat aku cemburu lagi. KU MOHON!”
“Memangnya kamu masih suka sama aku?” tanya Dista.
“Aku gak tau.” Jawabnya.
Sampai akhirnya Dista kembali ke pondok pesantren.

Satu bulan kemudian, Dila masuk Rumah Sakit karena penyakit mag-nya. Selepas rapat osis tiba-tiba Dila pingsan. Badannya terkujur kaku dan dingin. Semua khawatir dan langsung membawa Dila ke Rumah Sakit. Tiga hari sudah ia dirawat di Rumah Sakit.
Semakin lama Dila sadar bahwa tidak mungkin ia harus menutup semuanya karena Dista yang tidak pernah memberikan harapan untuknya.

Tanggal 31 Desember 2012 (malam tahun baru 2013), Dila sadar dan tidak akan menutup hatinya. Kata-kata yang dikirimkan Dista itu menyadarkan Dila kalau cintanya pada Dista itu berlebihan. Akhirnya dia membuka hatinya kepada seseorang. Kali ini cinta Dila juga bertepuk sebelah tangan. Yaitu Aldi, karena Aldi sudah menyukai Ani (sahabat Dila). Dila menyembunyikan perasaannya rapat-rapat.

Hari berlalu begitu cepat hingga pada tanggal 23 februari 2013 datang. Rapat osis dilaksanakan hari itu. Dila, Aldi dan Ani mengikuti rapat itu. Sejalannya rapat, Aldi dan Ani hanya pandang-memandang, Dila hanya diam dan berkata dalam hati,
“Jika ia memang bukan untukku, aku rela jika ia pergi. Tapi tujukan dia pada cinta Mu ya Rabb. Jangan tujukan dia pada jalan yang sesat.”
Aldi sangat mendukung jika Dila bisa bersama Dista. Tapi bahkan Aldi tidak pernah menyadari bahwa Ia yang disukai Dila bukan Dista. Dan hari itu juga Aldi menceritakan semua isi hatinya. Semua yang diceritakannya tentang Ani. Perih, rasa itu yang ada di benak Dila.
Betapa hancur hati Dila saat mengetahui sahabatnya sendiri juga menyukai seseorang yang disukainya. Setelah membaca sms Aldi. Yang berisi tentang ungkapan perasaan yang menyakitkan bagi Dila.
Dan mereka berdua yang selalu membuat hati Dila panas membara. Aldi dan Ani merapikan tikar dan saling pandang-memandang di depan Dila yang juga merapikan tikar seusai ada acara di aula. Tanpa sepengetahuan mereka berdua, Dila lari ke kamar mandi dengan menangis. Setelah itu ia menghapus air matanya dengan air dan segera kembali ke aula.

Sakit dan sakit yang harus dia rasakan, tetapi ia tidak putus asa. Menurutnya semua ini adalah ujian dari Allah untuknya. Tegar yang harus ia lakukan sekarang. Dia harus mengalah dan selalu mengalah, karena Ani adalah sahabat dekatnya. Ani tak menyadari bahwa Dila juga menyukai Aldi. Dila hanya diam dan tidak mengungkapkan perasaannya sedikitpun.

Hari yang meletihkan. Hari ini dipenuhi dengan kegiatan-kegiatan yang menguras energi. Dan juga membuat hati Dila semakin hancur. Kali ini mungkin tidak sesakit yang kemarin. Tetapi juga cukup menyakitkan. Dila hanya bisa menyimpan ini dalam lubuk hatinya. Dan seraya berkata dalam hati.
“Sekarang Ani suka lagi sama Aldi, apa yang harus aku perbuat sekarang. Aldi pun juga sebaliknya, mungkin memang ini yang terbaik bagiku. Aku harus tersenyum di saat orang yang aku sayangi menyayangi orang lain.”
Dila berfikir dirinya amat bodoh. Karena menolak semuanya demi Dista. Hanya sesal yang ia rasa. Semua yang telah ia lakukan dulu berujung hanya sia-sia tak berguna. Ia merasa dirinya telah melukai Aldi sangat dalam. Hingga Aldi sekejap dapat melupakannya begitu saja. Meninggalkan dan melupakan semua kenangan yang telah mereka jalani dahulu. Tapi Dila hanya bisa pasrah, ia tak tau harus bagaimana.

Lomba OSN tingkat kabupaten akan segera dilaksanakan. Dila mewakili mapel Matematika, Aldi mewakili mapel Biologi. Sedangkan Bella mewakili mapel Fisika, dan Riski mewakili mapel IPS.
Adanya lomba ini, akan memberi kesempatan kalau Dila pasti bertemu dengan Aldi. Dan semakin mereka bertemu terus-menerus, hati Dila semakin gak karuhan.

Ketika Dila dan Bella mengembalikan Jurnal, Dila hampir menabrak Aldi di pintu lorong sekolah. Kebiasaan Dila selalu muncul, yaitu syok dan salting. Dila hanya bisa menggandeng tangan Bella erat-erat waktu itu. Di fikiran Dila hanya satu yaitu, “Dia milik Ani, aku tidak berhak memilikinya”.
Dia hanya bisa merenung. Batin Dila tersiksa dengan semua ini. Tapi Dila harus tetap bertahan, demi hidupnya di masa mendatang. Ia tau bahwa hidupnya masih panjang. Masih banyak mimpi-mimpi yang masih belum ia raih. SEMANGAT, selalu ada dalam kamus hidup Dila. Walau hingga pada akhirnya hanyalah penyesalan yang ia dapatkan.

Semakin ia mengingkari semuanya, semakin bertambah pula yang ia resahkan. Antara sahabat ataukah perasaan?. Memang sahabat itu penting, tetapi apakah ia harus melukai perasaannya terus menerus?. Walau begitu banyak yang ia pikirkan, tetapi ia tak pernah menyerah mencari harapan-harapan yang telah hilang ditelan ombak.

Aldi memang seorang yang baik. Tetapi kini dia telah berubah. Aldi yang dulu manis, santun, sopan, sekarang sudah gak ada lagi. Bahkan bertemu dengan Dila pun ia tak menghiraukannya. Hari yang melelahkan, karena persiapan OSN yang dilatih habis-habisan. 9 Maret 2013, datang menghampiri peserta OSN.

Dan keesokan harinya diadakan try out di sekolah Dila. Hari itu Ia bertemu dengan Adin yang kebetulan mengikuti try out tersebut. Ia teringat kembali pada Dista. Dia berfikir bagaimana keadaan Dista sekarang. Tapi itu hanya terlintas di pikirannya karena ada Aldi dihadapannya. Karena kini cinta Dila bukan untuk Dista lagi, melainkan untuk Aldi.

Malam itu Dila dan Aldi mengikuti pengajian akbar di MTSN Karangmojo. Paginya Dila memberitahu Aldi tentang perasaan Ani yang suka sama Aldi. Tapi Aldi tak percaya dan menanyakan langsung pada Ani. Aldi bilang kalau Ani suka sama Aldi. Karena Dila tak ingin menggangu hubungan mereka. Ia menyuruh Aldi supaya tak menghubunginya lagi, tapi Aldi tak mau. Waktu itu juga Dila mengatakan perasaannya pada Aldi. Ternyata selama ini Aldi juga masih sayang sama Dila. Dan Ani juga sudah punya pacar. Ani suka sama Aldi hanya sekedar sahabat saja. Perkataan Aldi yang bilang kalau Ani suka sama Aldi hanya untuk memancing Dila. Dan akhirnya mereka memutuskan untuk menyambung hubungan yang dulu sempat terputus karena Dista. Mereka bahagia menjalani hidupnya sekarang.

THE END
Readmore → Kesetiaan Bekaskan Luka

Petualangan Si Mamat

Oleh : Ahmad Sukamto

Suatu hari ada seorang pemuda bernama mamat, dia adalah anak seorang petani biasa di sebuah desa. Dia tinggal di sebuah gubuk kecil di desa nya. Dia punya cita-cita untuk menjadi seorang TNI (angkatan darat). Saat ini ia sedang duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar. Setiap pagi hari ia selalu pergi ke ladang untuk mengantar makanan untuk ayahnya yang sehari-hari bekerja di ladang.

Pagi itu ia berbincang dengan ayahnya
“Ayah, aku ingin menjadi seorang TNI angkatan darat saat sudah besar nanti”.
lalu ayahnya menjawab pendek… “Benarkah itu nak?”.
“Tentu ayah!!” sahut si mamat. Si ayah hanya diam dan meneruskan pekerjaan nya… Dalam pikiran nya sendiri ayah mamat berfikir “cita-cita yang bagus nak, tapi kan ayahmu ini hanya petani ladang”.

Pagi ini mamat siap berangkat ke sekolah dengan penuh semangat… Sebelum berangkat ia selalu berdiri di depan cermin lemarinya untuk menyisir rambutnya serapi mungkin. Di sekolah ia tak lupa memberi salam pada guru-gurunya di sekolah. Dia selalu bertanya bila gurunya memberi kesempatan bertanya. Setiap waktu ia membaca buku pelajaran.
“Ngapain sih kamu bawa buku terus?” Si didit bertanya padanya…
Lalu mamat menjawab “Buku ini kan jendela dunia…”.
“maksud nya mat?” Sahut didit.
“Dari buku ini aku bisa tau apa yang tidak aku tau, dan dunia ini banyak yang tidak aku tahu” ujar mamat…

Bel istirahat telah tiba… Semua anak-anak keluar dari kelas menuju kantin sekolah. Hanya si mamat yang ada di kelas, di buka tas nya perlahan. Lalu ia buka bungkusan yang tadi pagi telah disiapkan oleh ayahnya. Bukan karena ayahnya pintar memasak, tapi karena ibunya pergi ke luar negeri menjadi TKW. Ternyata siang itu ayahnya memberi bekal ubi goreng dengan parutan kelapa. Dengan lahap ia menyantap ubi goreng itu.

Bel tanda pulang berbunyi. Mamat bergegas pulang ke rumah, menyiapkan segelas teh hangat untuk ayahnya.
“Ayah pulang nak…” kata si ayah.
“Masuk lah ayah, biar ku bawakan sepedanya” sahut mamat. Kemudian ayah duduk di ruang tamu menikmati secangkir teh buatan mamat. Saat itu mamat sedang berkemas menata buku-buku pelajaran ke dalam tas.
“Mau kemana lagi kamu nak?”.
“Pergi untuk bimbingan belajar yah…”.
“tapi ayah tak punya uang untuk membayar bimbingan belajar mu”.
“Tenang ayah, bimbingan ini gratis kok” jawab mamat tenang.

Di kelas bimbel nya itu mamat terbilang paling rajin, ia selalu datang lebih awal dari teman-teman nya. Soal prestasi ia hanya kalah dari siswi perempuan yang memang berasal dari keluarga yang mampu. Mampu untuk memberikan segala kebutuhan pendidikan anak nya. Tapi hal ini tak membuat si mamat patah arang untuk jadi yang terbaik. Ia selalu berpikir bahwa aku harus bisa lebih pintar dari dia walaupun aku anak petani.
Guru bimbel nya juga tau betul bahwa si mamat ini ibarat pepatah jawa “bathok bolu isi madu”. Yang artinya didalam sebuah kesederhanaan penampilan nya terdapat sesuatu yang berharga. Tak hanya itu, tekad mamat untuk belajar pun sangat hebat.

“Mat, ini bapak kasih soal soal tambahan buat kamu, kerjakan saja di rumah, besok kamu kumpulkan ya” kata guru bimbelnya…
“Iya pak, akan saya kerjakan semuanya” sahut mamat.

Jam menunjukan pukul 4 sore. Saatnya pulang, sebenarnya mamat ingin pulang bersama teman-teman nya. Akan tetapi dia punya keinginan untuk membeli seragam SMP nya nanti dengan uangnya sendiri. Sore itu mamat mengayuh sepedanya menuju tempat penggilingan padi dengan tergesa-gesa. Segera ia menyapa mbah Gimin

“mbah, berapa karung yang dijemur hari ini”. Yap, mamat bekerja sampingan membantu tukang jemur padi di penggilingan untuk mengemas padi yang sudah dijemur. “ada 11 karung hari ini mat, ayo kita kemas nanti keburu hujan”.

Dengan penuh semangat mamat mengemas padi ke dalam karung yang sudah disiapkan. Tetesan keringat memebasahi wajah mamat, mengalir dari sela kedua matanya. Sesekali mamat menggaruk badan nya, karena memang debu dari padi yang dijemur akan membuat kulit tersa gatal. Mamat menyelesaikan pekerjaannya pukul 5 sore dan memerima upah dari mbah gimin. Lalu ia bergegas pulang karena takut jika nanti ayahnya akan mencemaskannya jika terlambat pulang.

Setiba di rumah ia memasukan hasil jerih payah nya sendiri ke dalam celengan. Jangan berfikir kalau celengannya terbuat dari gerabah yang berbentuk kendi atau celengan dari plastik berbentuk ayam jago. Celengannya hanya terbuat dari sebatang bambu, kemudian ia lubangi tengah ruas nya dengan gergaji sesuai ukuran uang receh. Kemudian mamat bergegas mandi. Jangan pikir kamar mandinya dibuat dari bak semen dan menggunakan gayung. Disana hanya ada pengaron besar dengan batok kelapa sebagai gayung nya. Untuk mendapatkan air ia harus menimba dari sumur. Saat malam tiba mamat selalu belajar. Bukan dengan cahaya lampu PLN tapi dengan cahaya lampu petromax tua milik ayahnya. Sebenarnya sudah ada aliran listrik di desa nya, tapi karena faktor ekonomi keluarga lah yang menjadikan petromax sebagai teman belajarnya. Dalam pikirannya mamat berpikir aku juga bisa belajar walau tanpa listrik. Dikerjakan semua soal-soal latihan yang diberikan guru sekolahnya, tak lupa juga soal-soal dari guru bimbelnya. Seperti basanya ia tak pernah berhenti untuk menulis, membaca dan berhitung saat belajar. Setelah selesai belajar mamat pergi tidur.

Keesokan harinya mamat berangkat sekolah seperti biasanya. Kemudian di tempat bimbel mamat menyerahkan semua soal-soal tambahan dari gurunya.

“Pak, ini tugas yang bapak berikan kemarin, sudah saya kerjakan semuanya…”
“Coba bapak lihat. Hem… Bagus mat, kamu mengerjakan dengan cermat dan semua jawaban mu benar.”
“(sangat senang) Benarkah itu pak?”
“Benar, tapi jangan puas dulu. Kamu harus tetap giat belajar supaya hasil ujian mu memuaskan.”
“Siap Pak!!!” Sahut mamat.

Dengan keseharian seperti itu, tak terasa seminggu telah berlalu. Singkat cerita mamat mulai berpikir, kalau cuma bekerja di penggilingan tak akan cukup untuk membeli seragam SMP nya.

Saat itu hari minggu tiba, ia pergi ke rumah tetangganya untuk berjualan es keliling. Dengan sebuah termos berisi beberapa es lilin ia mulai berkeliling dengan sepedanya…

“Es lilin, ada rasa sirsak, ada rasa jambu… Ayo beli es…”
Suaranya meneriakan dagangan nya di tengah siang yang sangat terik… Saat itu sudah pukul 11 siang. Belum satu pun es nya yang terjual. Mamat duduk di bawah pohon asam jawa. Dia membuka termos yang dibawanya. Dia memandangi es yang ada di dalam nya. Sepertinya rasa hausnya akan terobati saat meminum satu saja es itu.

Tapi mamat tidak tergoda. Dia menutup lagi termosnya, lalu melanjutkan berkeliling dengan sepedanya. Di jalan dekat sawah ia melihat sekumpulan orang-orang yang sedang panen di sawah. Mamat segera bergegas kesana…

“Sudah waktunya istirahat, minum es dulu pak, buk, biar segar… Ada rasa sirsak dan juga jambu…” tawar si mamat.
“Sini nak, aku ambil 20 ya…” jawab salah satu orang disana.
Mamat tersenyum “Terima kasih ya buk…” berdiri lalu memberikan beberapa es lilin, dan mulai mengayuh lagi sepedanya
“Es lilin, es lilin, rasanya enak, ayo dibeli…” teriak mamat.

Kini mamat mulai meninggal kan area persawahan. Tiba lah ia pada jalan yang mulai menyempit. Jalan yang tadinya diaspal kian lama menjadi jalan setapak biasa. Jalan yang tadinya begitu panas, kini menjadi agak teduh karena banyaknya pepohonan yang begitu rindang di sekitar jalan.

Di ujung jalan itu mamat melihat jembatan yang sempit, yang hanya bisa dilalui pejalan kaki. Mamat berhenti sejenak, kemudian memberanikan diri untuk menyeberangi jembatan itu. Di sisi seberang sana terlihat bapak-bapak sedang mencari rumput. Ia memegang sabit dan menggunakan tutup kepala dari rajutan bambu.

Dengan hati-hati mamat menyeberangi jembatan itu. Selangkah demi selangkah ia menjejakan kaki nya. Tiba tiba terdengar suara sesuatu yang jatuh ke air.
“Byuuurrr…”

Pencari rumput yang tadinya asyik dengan pekerjaannya kemudian berdiri. Dia mencari sumber suara aneh tadi. Dia menoleh ke kanan dan kiri, seperti ada gelembung-gelembung udara yang keluar dari dalam air. Tiba-tiba ada kepala dan tangan seorang bocah yang sedang memegang erat temos plastik.

“Tolong… epfh.. tolong saya tidak bisa berena…nghh” teriak mamat.

Dengan bergegas pencari rumput itu membuang sabit dan tutup kepalanya. Kemudian ia terjun ke sungai untuk menyelamatkan si mamat.
“Tunggu, saya datang, jangan panik nak…” sembari berenang mendekati si mamat yang hampir tenggelam di sungai

Pencari rumput membawa mamat yang memeluk erat termos ke pinggir sungai, lalu menariknya ke atas jalan. Dengan susah payah bapak separuh baya itu kembali ke sungai lalu mengambil sepeda si mamat.

Setelah bapak itu sampai di atas jalan, ia mulai menanyai si mamat…

“Nama mu siapa nak, dan apa yang kamu lakukan di sungai dengan sebuah termos di pelukan mu?”
“Nama saya Mamat pak… Saya tadi ingin menyeberangi sungai, tapi malah terpeleset. Terima kasih ya pak, sudah menolong saya…”
“Sama-sama nak, lalu termos itu untuk apa?”
“Ini termos berisi es lilin tadinya pak, saya berjualan es ini keliling”
“Lalu kenapa anak seusiamu malah berjualan di hari minggu seperti ini?”
“Saya berjualan untuk menabung, supaya bisa beli seragam SMP saya nanti dengan usaha saya sendiri pak…”
Pencari rumput geleng-geleng kepala “Ckckck… Kamu memang hebat nak, seandainya aku punya anak sepertimu. ”
“Saya cuma anak biasa pak, yang ingin meringankan sedikit beban ayah dan ibu saya…”
“Baiklah, sekarang sudah sore, lekaslah pulang, nanti kau bisa masuk angin nak, apalagi sebentar lagi hujan akan turun…”

Dengan wajah lesu, mamat menuntun sepeda nya. Menuju jalan untuk pulang, tapi ia juga bingung bagaimana ia menjelaskan kepada tetangga nya nanti. Apakah tetangganya akan percaya kalau ia benar-benar terjatuh ke sungai.

Di tengah jalan ia bertemu seorang laki-laki berumur 35 tahun, membawa tas jinjing mengenakan kemeja rapih, serta sepatu kulit yang mengkilap karena disemir.

“Pak, mengapa bapak terlihat kebingungan?”
“Ohh, iya… Saya baru kehilangan sesuatu di sekitar sini nak… Lalu kenapa kamu basah kuyup seperti itu?”
“Ceritanya panjang pak, oh iya memangnya bapak kahilangan apa barangkali saya bisa membantu mencari nya?”
“Saya baru kehilangan cek yang jatuh dari map ini nak…”
“Baiklah, akan saya bantu mencarinya…”

15 menit sudah mamat mencari, di antara semak belukar, di balik pepohonan, dan belum ketemu juga apa yang mereka berdua cari. Tiba-tiba mamat melihat ke arah got, dan di atas batu di tengah aliran got itu ada kertas berwarna merah jambu dengan pinggiran yang mengkilap.

Segera mamat terjun ke dalam aliran got itu, dan mengambil secarik kertas yang mencurigakan tersebut.

Mamat memberikan kertas yang ia pungut tadi “Kertas inikah yang bapak cari dari tadi?”
“Oh iya nak, betul sekali. Bagaimana bapak berterimakasih padamu nak…” mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu rupiah dan memeberikan nya ke mamat
“Ini apa pak, saya tidak bisa menerimanya”
“Terimalah nak, bapak ikhlas memeberikan nya untuk mu”
“Tidak, saya ikhlas menolong bapak, karena saya juga baru saja ditolong orang hari ini…”
“Baiklah, siapa namamu, dan dimana kamu sekolah nak?”
“Nama saya mamat, saya sekolah di SD satu-satunya di desa ini pak…”

Tak lama setelah itu, mamat pamitan untuk pulang. Diam-diam pegawai bank tadi mengikuti langkah si mamat menuju ke rumah. Dia terkejut melihat rumah mamat yang amat sangat sederhana sekali.
Setelah kejadian itu mamat menjalankan aktifitasnya seperti biasa.

Tak terasa 4 minggu telah berlalu semenjak kejadian itu. Mamat sudah melewati Ujian Nasional, dan tinggal menunggu pengumuman nya saja… Dan tibalah hari itu, hari pengumuman hasil Ujian Nasional tingkat SD. Dengan percaya diri mamat berangkat ke sekolah. Di gerbang sekolah ia bertemu didit…

Didit merangkul pundak mamat “Selamat ya mat, kamu memang hebat!!!”
“Hebat apanya dit? Aku bingung…”
“Selamat mat, kamu memang super banget pokoknya…!!!”
Mamat bergumam “Hari ini semua orang aneh…”

Mamat berjalan di lorong-lorong SD nya, menuju papan pengumuman. Diasana riuh sekali, ada yang menangis, ada yang melompat-lompat, ada yang berteriak kegirangan. Dan ketika mamat bergabung dengan kerumunan itu, semua teman-teman nya yang ada disana datang menghampirinya, memberi pelukan, pujian, ucapan selamat.

Lalu saat ia mencari namanya, dan ternyata hasilnya amat mengejutkan, dia mendapat 10 untuk semua mata pelajaran. Tanpa tersasa air mata mamat mengalir dari kedua mata nya. Dia tak bisa berkata apa pun saat itu.

Setelah 4 hari berselang pendaftaran SMP mulai dibuka. Sebenarnya mamat ingin sekolah di SMP yang lebih besar, lebih modern, tapi tempat nya di kota. Dan tentu tidak mungkin untuk anak petani sepertinya. Lalu dia memilih sekolah SMP negeri yang lumayan bagus di kabupaten tempat nya tinggal.

Dia ingat belakangan ini sudah menabung, lalu ia keluarkan semua uang tabungan nya. Dan sial nya uang itu masih belum cukup untuk membeli seragam SMP yang dia inginkan. Tapi ia gunakan uang itu untuk biaya administrasi pendaftaran siswa baru.

Saat pendaftaran selesai, semuanya mengumpulkan biaya untuk membeli seragam. Mamat hanya duduk di pojok ruangan, menutup wajahnya dengan telapak tangan nya dan tertunduk.

Tiba-tiba dari pintu masuk terdengar suara ketukan pintu…

“Selamat siang pak, maaf… saya mencari anak saya pak…”
“Silahkan bapak, ma af… nama anak bapak siapa?”
“Nama nya Mamat pak…”
“Panggilan…. kepada saudara mamat ditunggu ayah nya di depan pintu… terima kasih…”
Mamat membuka kedua tangan dari wajahnya, dan bergegas menuju pintu
“Ada apa yah, kenapa menyusul kemari?”
Ayah memeluk mamat dengan mata berlinang air mata “Kamu memang anak kebanggaan ayah nak…”
“Ada apa yah, kenapa tiba-tiba ayah berkata begitu?”. “Sudah lah yah, aku tau kita tak punya cukup uang untuk membeli seragam ku, tapi yakinlah kalau akan ada jalan dari Tuhan nanti…” sahut si mamat.
Ayah memegang kepala mamat dan mengusap rambut nya
“Solusinya sudah disini nak, lihatlah ke arah kanan…”

Di kursi sebelah kanan telah duduk seorang laki-laki dengan penampilan rapi, yang sepertinya mamat pernah bertemu orang ini. Dengan perlahan ia menghampirinya. Ternyata dia adalah laki-laki pegawai bank yang pernah ia tolong satu bulan yang lalu. Dia menemui mamat untuk menyerahkan sebuah amplop coklat, dan memebawa map hijau. Dia bilang uang di amplop itu untuk uang gedung, dan map hijau itu perjanjian tentang beasiswa yang akan diterima oleh mamat dari SMP sampai SMA.

TAMAT
Readmore → Petualangan Si Mamat

Atarashi Seishin (Semangat Baru)

Oleh : Aris Maulana

Shizuoka, 28 Juli 2000
“Ittekimasu!”
Seorang pemuda kawaii berlari-lari kecil keluar dari rumahnya. Pagi ini, dia akan berjalan jalan ke tempat-tempat wisata atau bangunan yang cukup terkenal di Shizuoka untuk menghabiskan akhir pekannya.

Arisu Yukkiteru, seorang anak laki-laki berumur 16 tahun, ia sangat gemar sekali berjalan-jalan ke tempat-tempat dan bangunan yang indah setiap akhir pekannya. Kebetulan hari ini hari minggu, itu berarti dia akan pergi ke suatu tempat yang bisa membuatnya menjadi bersemangat untuk memulai segala aktivitas di hari libur tersebut.
Rencananya, hari ini dia akan pergi ke Shizuoka Sengen Shrine, yang masih berada di daerah Shizuoka. Yukki hanya perlu menaiki Tokaido Shinkansen dari Shizuoka Station di dekat rumahnya.

Sesampainya disana..
Pemandangan kebun teh yang hijau terhampar luas di depan mata, karena memang mayoritas utama penduduk Shizuoka adalah berkebun teh. Di sepanjang jalan kecil menuju Shizuoka Sengen Shrine pun tercium wangi semerbak bunga Hollyhock, yang menjadi simbol dari kotanya —kota Shizuoka. Sembari menikmati perjalanan yang menyenangkan tersebut Yukki mendengarkan musik dari Hatsune Miku —yang memiliki tempo cukup nge-beat.

Tiba-tiba..
“Bruk!” Yukki menabrak seseorang, tubuhnya pun terhempas pelan di atas tanah. “Gomennasai..” ucap seseorang tersebut pelan. “Hai, daijoubu dakara. Seharusnya aku yang minta maaf.” kata Yukki sambil membungkukkan badan—meminta maaf juga.
Orang itu pun segera pergi meninggalkan Yukki. Namun Yukki tidak sempat bertanya apapun —termasuk namanya, apalagi alamat rumahnya. Tiba tiba Yukki melihat sesuatu, dia pun mengambilnya. Ternyata itu adalah Kartu Identitas milik seseorang.

Yukki berniat mengembalikkan Kartu Identitas tersebut, tanpa berpikir panjang lagi dia pun berlari mengejar seseorang yang tadi bertabrakan dengannya. Karena dia yakin sekali Kartu Identitas tersebut adalah milik seseorang itu. Namun setelah Yukki mencarinya, ternyata dia sudah tidak ada —dia menghilang.

Fujikawa, 29 Juli 2000
Hari ini hari Senin.
Yukki menatap gerbang sekolahnya yang bertuliskan ‘Shizuoka International Senior High School’ dengan tatapan yang malas. Namun tiba-tiba Yukki melihat seorang perempuan melewati gerbang tersebut. Yukki merasa pernah melihatnya, tapi dimana? Ah —dia lupa. Dia pun merogoh saku bajunya dan mengambil Kartu Identitas yang dia temukan di dekat ShizuokaSengen Shrine kemarin. Dia menatap sesosok wajah yang berada di Kartu Identitas tersebut. Dan ternyata.. ya itu adalah dia —gadis itu. Yukki juga melirik nama di Kartu Identitas tersebut..
“Asuka Yuriko. Ah.. kanojo no namaewa Asuka Yuriko-san —nama gadis itu.” gumam Yukki.
Dengan semangat empat lima, dia mengejar Yuriko untuk mengembalikkan Kartu Identitasnya. Setelah jarak mereka cukup dekat..
“Onee-san! Matte kudasai!” pekik Yukki. Yuriko kemudian menghentikan langkahnya dan berbalik badan. “Ini milikmu, kemarin aku menemukannya di dekat Shizuoka SengenShrine.“ kata Yukki sambil menyerahkan kartunya dengan nafas yang ngos-ngosan. “Ah, hontou ni? Kalo begitu arigatou gozaimasu. Watashi wa Asuka Yuriko desu..” kata gadis tersebut sambil mengulurkan tangannya pada Yukki.
“Hai, dou itteshimashite. Watashi wa Arisu Yukkiteru desu..” ungkap Yukki sambil bersalaman dengan gadis tersebut.
Yuri berniat mentraktir Yukki makan atas ucapan terimakasihnya. Yukki pun tak enak hati untuk menolak tawaran tersebut —bilang aja laper.

Sejak hari itu, mereka memutuskan untuk bersahabat. Karena, mereka merasa memiliki banyak kesamaan. Yukki menilai Yuri itu orangnya baik, enak diajak ngobrol, dan kayaknya pinter —kayaknya. Dan Yuri, menilai Yukki itu ternyata baik juga, nyambung, dan cukup kawaii —baru nyadar dia.

Hampir setiap hari mereka menghabiskan waktu bersama. Yukki pun mulai bersemangat setiap kali akan bersekolah—kemaren kemana aja sih. Yukki merasa telah menemukan keceriaan baru dalam hidupnya, yaitu seorang wanita yang bernama Asuka Yuriko —cieee.

OWARI
(The End)
Readmore → Atarashi Seishin (Semangat Baru)