Hujan di Bulan November
Karya : Noviarni Isnaeni R.
Hujan di bulan November terasa penuh duka kenangan kenangan terdahulu, tetapi di setiap kedukaan itu selalu tersimpan kebahagiaan yang tertunda dan berkah yang terselip. Seperti biasanya, setiap pagi rutinitas yang hampir tak pernah ada hentinya untuk seorang pelajar. Aku mulai melangkahkan kaki ke jalanan yang penuh dengan tetes tetes air yang terjatuh dari atas langit, dan merasakan kesejukan udara pagi hari, sembari menyetuh dedaunan yang terbasahi air hujan yang nampak berbeda dari bulan yang lalu, walaupun dedaunan tak terbasahi embun dipagi harinya. Saat aku tengah menanti bus di halte terdengar suara orang yang tak asing memanggil namaku.
“Lisa..lisa”.
Dia adalah teman satu atap SMAku Yori yang sudah ku kenal sejak 3 tahun yang lalu, saat pertama kali aku mulai duduk dibangku SMP.
Aku dan Yori sebenarnya sudah berteman cukup lama. Bahkan lebih dari teman, bisa dibilang kita bersahabat cukup dekat dan aku sudah menganggapnya seperti kakakku sendiri. Aku sangat bahagia bisa memiliki sahabat seperti dia. Saat pertama kali pertemuan kita yaitu, sewaktu mos smp dia adalah orang yang selalu membantuku. Saat aku lupa membawa 2 buku tulis sebagai persyaratan mos, Yori memberikan satu buku tulis dari 2 buku yang dia miliki. Dan sejak saat itu aku dan Yori mulai berteman cukup dekat, terlebih lagi jarak rumahku dan Yori yang hanya satu komplek rumah.
“Lisa tungguin dong”. Dengan wajah berseri dia mulai mendekatiku.
Aku hanya terdiam sambil memandangnya dari kejauhan dan menghentikan langkah sembari menunggu kedatanganya.
“Kamu kenapa Lis? Muka kamu keliatan pucat? Kamu sakit ya?”. Yori mulai terlihat kawatir sambil menyentuh keningku.
Sekali lagi aku hanya terdiam dalam hatiku dan mulai berfikir kenapa sejak pertama aku bertemu dengan Yori dia selalu terlihat seperti orang yang sangat baik. Kenapa dia begitu baik? Aku tak habis fikir. Kebaikanya seperti ada sesuatu yang terselip didalamnya, dan disetiap senyuman yang kulihat selalu tersimpan makna yang tulus. Kenapa dia sangat perhatian? Bagiku dia adalah kakak yang selalu melindungiku.
“Ah udah yor aku ngak papa kok, ayo kita berangkat nanti keburu telat”.
Aku pun mulai angkat bicara sembari berlari dan menutup kepalaku dengan kedua tanganku untuk menghindari percikan air hujan yang menetes dari ujung langit biru mendung itu, lalu bergegas menuju bus yang berhenti didepanku.
Kita pun mulai beranjak dari halte dan mulai memasuki bus. Aku duduk bersebelahan dengan Yori seperti biasanya. Biasanya kami didalam bus membicarakan banyak hal dan dia selalu membuat candaan yang lucu. Lalu kami tertawa sejadi jadinya hingga kami menganggu kenyamanan orang orang didalam bus, sampai sampai pernah kami diturunkan dijalanan. Dan pada saat itupun kami tak pernah berhenti, kami terus saja berjalan penuh tawa hingga kami sampai dirumah. Namun itu dulu sewaktu kami masih duduk dibangku smp, sewaktu kita belum pernah merasakan pahit dan manisnya kisah cinta masa SMA. Itu hanyalah masa yang lalu saat kita masih dalam pikiran logika kekanakan yang ada, dan kini kami telah menduduki bangku SMA tentunya kami berdua semakin dewasa. Sekarang kami tak banyak lagi berbicara seperti dulu.
Pikiranku itu mulai terhenti sejenak saat bus berhenti didepan sekolah kami, dan kami mulai turun dari bus tanpa berkata sepatah katapun. Kami bergegas menuju kelas kami masing masing. Kelas kami tidak bersebelahan lagi seperti dulu sewaktu smp. Kelas Yori ada dilantai bawah dan kelasku berada dilantai atas tepat diatas kelas Yori. Beberapa bulan yang lalu Yori selalu memberiku semangat saat sebelum aku akan menaiki tangga dan berjalan menuju kelasku. Namun aku rasa kini dia mulai berubah, entah kenapa.
“Ah sudahlan mungkin ini hanya perasaanku saja”. Dalam hati aku mulai bergumam dan berusaha menghilangkan semua pikiranku tentang Yori.
Aku mulai berjalan menuju kelasku. Dari kejauhan aku melihat wajah seseorang yang kukenal. Dia tersenyum kepadaku sambil membawa setangkai bunga mawar merah dan boneka berbentuk kucing berwarna pink. Dia adalah Adit pacarku. Kira kira sudah sekitar beberapa minggu aku mulai berpacaran dengan Adit. Ah bukan, atau mungkin beberapa bulan, aku benar benar tak ingat mengenai itu.
“Selamat Ulang tahun yang ke-17 Lis”. Ucap Adit penuh dengan senyum sembari memberikan boneka dan bunga mawar itu kepadaku.
“Makasih Adit”.
“Iya sama sama Lis, aku ngak telat kan ngucapinya?”
“Emm, enggak kok dit. Sekali lagi makasih ya dan maaf udah ngerepoti kamu kaya gini”
“Enggak kok Lis aku malah senang bisa ngeliat kamu senyum kaya gini”.
Tiba tiba bel masuk pun menghentikan obrolan kita berdua. Aku dan Adit beranjak pergi dari tempat itu dan mulai menuju kekelas kita masing masing untuk segera memulai pelajaran di pagi ini.
***
Setelah beberapa jam berlalu akhirnya pelajaran hari ini pun usai dan aku bergegas menuju jalan pulang. Sebelum pulang aku menunggu Yori seperti biasanya untuk pulang bersama. Namun saat aku sedang menunggu Yori, tiba tiba Adit memanggilku dan mengajaku untuk pulang bersama menaiki motornya. Aku sebenarnya ingin menolak ajakan Adit karena selama ini aku belum pernah pulang bersama cowok lain selain Yori. Dan aku merasa canggung apabila harus naik motor dengan cowok lain, lagi pula aku baru mengenal Adit beberapa bulan yang lalu ketika aku dikenalkan oleh Sisil teman sekelasku hingga akhirnya aku dan Adit pacaran sampai saat ini. Tapi aku merasa ngak enak jika harus menolak ajakan Adit. Dengan separuh hati aku pun menerima ajakan Adit untuk pulang bersama. Dan dengan berat hati aku mengirim sms ke Yori agar dia pulang terlebih dahulu karena hari ini aku pulang dengan Adit.
Sesampainya dirumah dengan rasa lelah aku mengambil hpku yang ada didalam tas, dan melihat kelayar hp yang ternyata ada pesan dari Yori yang berbunyi. “Lisa, sehabis pulang sekolah aku tunggu kamu di lapangan tempat biasa”. Setelah membaca sms itu aku langsung bergegas menuju lapangan untuk menemui Yori tanpa menganti pakaian dan mebiarkan seragam sekolah putih abu abu ini terus membalut tubuh ini. Dengan rasa lelah ini aku mengayuh sepedaku agar aku bisa cepat sampai disana dan bertemu dengan Yori. Kali ini entah mengapa aku sangat antusias dan bersemangat, mungkin karena sudah hampir setahun aku tak pernah ke tempat itu lagi bersama dengan Yori.
Setelah beberapa menit aku mengayuh sepedaku akhirnya aku sampai ditempat itu, namun sejauh mataku memandang dan meneropong jauh aku tak melihat tanda tanda keberadaan Yori. Namun aku putuskan untuk menunggu Yori hingga dia benar benar muncul dihadapanku. Dalam hatiku aku kembali bertanya, kenapa Yori berubah tidak seperti biasanya? Biasanya dia tak pernah telat sedetikpun bila kita akan bertemu seperti saat ini. Hampir satu jam aku menunggu Yori, dan aku hampir saja putus asa menunggu kedatangan Yori. Namun tiba tiba Yori datang , dia muncul tepat dibelakangku.
“Yori kamu lama banget si, dari mana aja kamu?”. Tanyaku dengan nada kesal.
Namun Yori terdiam tanpa sepatah katapun. Dan aku kembali bertanya.
“Aku heran sama kamu yor, biasanya kamu ngak pernah telat. Kamu benar benar agak berubah akhir akhir ini. Kamu kenapa si yor?”.
“Aku udah sejam yang lalu nunggu kamu disini Lis. Dan dari tadi aku ngeliatin kamu dari atas bukit itu”. Jawab Yori sembari menunjuk ke atas bukit dekat lapangan.
“Terus kenapa kamu ngak turun? Kamu tega biarin aku kaya orang hilang sendirian?”
“Awalnya aku kira kamu ngak akan datang. Aku kira kamu sibuk sama pacar baru kamu si Adit itu, dan aku hampir aja mau pulang kerumah. Tapi dari kejauhan aku ngeliat kamu datang naik sepeda. Akhirnya aku naik ke bukit itu, supaya bisa ngeliat kamu sampai berapa jam tahan nungguin aku, kayak dulu aku selalu nungguin kamu berjam jam saat kamu telat datang dan menyambut kamu dengan penuh senyum”.
Mendengar perkataan dari Yori aku terdiam sesaat, aku bingung akan menjawab apa. Baru kali ini aku mendengar perkataan seserius itu dari Yori. Apakah Yori benar benar berubah? Apakah Yori yang didepanku ini bukan Yori yang dulu, yang aku kenal.
“Aku keseini cuma mau ngucapin selamat ulang tahun untuk kamu yang ke-17. Seharusnya aku ngucapinya dari tadi pagi, tapi aku liat kamu bener-bener ngak mood. Jadi aku simpan ucapan ini sampai kita pulang sekolah. Dan maaf aku ngak bisa kasih kamu hadiah. Awalnya aku mau ajak kamu ke toko ice cream tempat kita dulu nongkrong bareng dan traktir sepuas yang kamu mau. Tapi aku pikir ini juga tempat kenagan kita dulu. Waktu pertama kali aku ajarin kamu baseball sampai tangan kamu lecet semua dan kamu kecapean, hingga aku harus gendong kamu pulang sampai rumah, terus akhirnya aku dimarahi mama kamu. Aku benar benar minta maaf Lis”. Kata Yori sambil tersenyum manis.
Kenapa dadaku sesak saat mendengar perkataan Yori. Aku kira Yori telah berubah, dia memang bertambah dewasa. Namun senyum yang terpancar dari bibirnya itu masih benar benar sama seperti dulu, saat pertama aku mengenalnya. Dan dia juga masih mengenang masa kecilku dulu bersama dia. Dia membuatku bingung dengan tingkahnya yang seakan berubah ubah bagaikan musim yang terus berlalu.
“Yori, apa kamu masih Yori yang dulu?”
“Kamu ngomong apa si Lis? Aku Yori dan aku tetap Yori yang kamu kenal”
“Tapi aku kira banyak yang berubah dari kamu Yor”
“Lalu apa Lisa masih Lisa yang aku kenal dulu? Yang selalu ceria?”
Dalam benakku, aku kembali berfikir mendengar pertanyaan Yori. Apakah aku Lisa? Apakah aku Lisa yang selama ini Yori kenal?. Aku bertanya pada diriku sendiri. Aku sadar bahwa bukan Yori yang berubah namun aku sendiri. Aku bukan Lisa yang dulu. Akhir akhir ini hampi aku tak pernah seceria dulu, dan semenjak aku berpacaran dengan Adit aku banyak berubah.
Tanpa kusadari aku merasa pipiku terasa dingin. Air mataku perlahan menetes dan mulai membasahi pipiku ini.
“Yori…”. Bibirku lirih memanggilnya sembari menahan sesak didada, dan merasakan tetesan air mataku.
“Yori, maafin aku. Aku udah ngeohongin diriku sendiri dengan cara pacaran sama Adit. Dan perlahan aku mulai berubah”.
Tiba tiba Yori memelukku dan berbisik ditelingaku.
“Lisa.. tenanglah bagiku kamu ngak akan pernah berubah. Kamu tetap sama seperti Lisa yang aku kenal. Memang waktu selalu merubah kita dan mendewasakan kita. Namun ingat aku tetap akan menjadi Yori sahabat kamu yang pertama kali kamu kenal Lis. Percayalah”.
Aku… aku tak percaya. Yori masih tetap Yori yang dulu. Yori yang aku kenal. Senyumnya masih sama seperti dulu. Caranya membuat lelucon yang mengangguku masih tetap sama seperti dulu. Walaupun hujan dibulan November pun, itu tak akan pernah merubah Yori. Yori tetap Yori.